Medankinian.com, Medan– Guna menindaklanjuti temuan Satgas Pangan Polda Sumatera Utara terkait adanya 1,1 juta kg minyak goreng kemasan di gudang produsen dan temuan sidak yang dilakukan KPPU bersama Ombudsman terkait dengan tersendatnya pasokan ke distributor, KPPU mengundang Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara dan DPW APKASINDO PERJUANGAN Sumatera Utara untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi permasalahan terkait Kebijakan dan Tata Niaga Minyak Goreng.
Kegiatan diskusi yang dilaksanakan di KPPU Kanwil I Medan dihadiri oleh Wakil Ketua KPPU Guntur Syahputra Saragih, didampingi Kepala Kanwil I KPPU, Ridho Pamungkas, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara Abyadi Siregar dan Wakil Ketua Umum DPP APKASINDO Perjuangan, Subangun Berutu.
Dalam pertemuan tersebut, Ridho mengatakan bahwa sebelumnya KPPU Kanwil I menghadiri RDP di DPRD Sumut dimana Polda Sumut memaparkan hasil penyelidikan terkait temuan sidak minyak goreng 1,1 juta kg dan menyimpulkan belum ditemukan tindak pidana penimbunan berdasarkan Perpres No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
“KPPU masih mendalami terkait pernyataan Ivomas yang menyatakan produksi minyak gorengnya untuk industri mie instan yang terafiliasi dengan perusahaan, sementara temuan dari satgas pangan adalah minyak goreng kemasaan, bukan curah sebagaimana umumnya minyak goreng untuk industri. Artinya, ada dugaan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) minyak goreng dapat diakali industri dengan memprioritaskan pada penjualan ke industri yang tidak dipatok HET” katanya.
Atas kesimpulan Polda tersebut, Abyadi Siregar juga masih mendalami penafsiran dari Pasal 11 Perpres No. 71 Tahun 2015 tersebut. Dalam hal terjadi kelangkaan minyak goreng di masyarakat, perlu ada penafsiran yang jelas dalam menetapkan jumlah dan waktu persediaan dan stok yang wajar didasarkan dari masing-masing karakteristik produknya.
“Minyak goreng termasuk barang kebutuhan pokok yang cepat perputarannya dan lancar produksinya, sehingga batasan waktu penyimpanan dari minyak goreng hingga dikatakan memiliki motif penimbunan perlu ditinjau ulang. Bagaimana jika ditemukan stok minyak goreng yang tertahan selama 2,5 bulan dalam kondisi barang langka di masyarakat, apakah masih belum dikatakan penimbunan?” ujarnya.
Sementara Subangun Berutu menyatakan bahwa dalam tata niaga sawit, perhitungan harga TBS hanya memperhitungkan nilai CPO dimana rata-rata harga TBS adalah 20 persen dari harga CPO. Padahal hampir semua sisa pengolahan kelapa sawit masih tetap bernilai jual seperti cangkang, tandan hingga abunya. Hal ini menyebabkan posisi petani sawit mandiri masih termarginal dalam tata niaga sawit.
Menaggapi hal tersebut, Guntur Saragih menjelaskan bahwa adanya selisih harga CPO akibat kebijakan DMO dan DPO dapat mengakibatkan level playing field (lapangan tanding usaha) yang tidak sama diantara produsen minyak goreng dalam memperoleh bahan baku serta membuka peluang terjadinya penyelewengan yang dilakukan oleh pelaku usaha, tentunya ini menjadi tantangan buat pemerintah dan kita semua.
Guntur juga menilai bahwa Pemerintah perlu mendorong industri pengolahan kelapa sawit skala kecil (miniplant) yang berbiaya murah dan bisa dikelola oleh kelompok tani.
“Sawit adalah buah yang nilai ekonomisnya bagi petani relatif rendah karena petani hanya mendapatkan upah panen, sedangkan hasil panen dikirim ke PKS dalam bentuk buah segar. Disamping mahal dari sisi transportasi dan merusak jalan, jika petani memiliki miniplant, maka produk yang dikirim ke pengolahan sudah dalam bentuk bahan baku dan petani pun dapat memanfaatkan limbah sawitnya” tandasnya.
Menutup diskusi, Wakil Ketua KPPU menyampaikan harapan bahwa Ombudsman dan Apkasindo akan terus berkolaborasi dengan KPPU untuk mewujudkan persaingan usaha yang lebih sehat demi kesejahteraan masyarakat.
“Yang pasti, KPPU sendiri akan terus mengawasi terjadinya berbagai perilaku curang dan pelanggaran terhadap hukum persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam penjualan minyak goreng” tutupnya.
(Mk/sdf)