Medankinian.com, Medan – Tragedi di Stadion Kanjuruhan usai duel Liga 1 Arema FC kontra Persebaya menjadi peristiwa memilukan yang menyedot perhatian dunia. Dari data terbaru 131 orang meninggal dunia dan ratusan lain luka-luka.
Sorotan mengarah kepada gas air mata yang ditembakkan polisi ke berbagai arah setelah adanya sejumlah suporter yang masuk ke lapangan. Apalagi bertentangan dengan regulasi FIFA untuk mengendalikan massa.
Koordinator Kontras Sumut, Rahmat Muhammad mengatakan polisi menggunakan kekuatan yang berlebihan untuk pengendalian massa di stadion.
“Penggunaan kekuatan harus ada necesitas. Seimbang atau gak. Proporsional gak ancamannya. Kita lihat di stadion gak ada yang terancam, yang di tribun kebanyakan gak turun. Itu sebuah perbuatan yang keji. Ada 42 ribu di stadion, ratusan meninggal dan luka. Mereka pastinya akan mengalami trauma. Jangan-jangan besok aku mati di situ, di stadion. Itu akan lengket di ingatan kita, termasuk yang di sini,” kata Rahmat dalam diskusi bertajuk “Kanjuruhan Malang yang Malang” di Kofie Meong, Rabu (5/10/2022) malam yang digelar Ikatan Wartawan Online (IWO) Medan.
Menurut Rahmat solusi saat ini adalah tak perlu lagi pakai polisi untuk pengamanan stadion. Kalaupun ada lebih baik tidak ditempatkan di dalam.
“Sebagus-bagusnya gak usah lagi ada polisi untuk mengamankan di stadion. Pakai saja stewart seperti pertandingan di luar negeri. Polisi di luar saja. Silakan pakai SOP huru hara itu di luar stadion. Kalau polisi mau mengamankan mereka harus punya kapasitas. Pengendalian massa itu konteksnya huru hara di luar stadion. Kalau konteksnya unjuk rasa dan ricuh, dipakailah gas air mata untuk membubarkan. Di dalam stadion bubarnya orang ke mana. Cukup gak pintu-pintu keluar darurat orang terdampak? Pengamanan bermasalah, jalur keluarganya gak ada.Aturan FIFA ini sudah disoalisasikan ke kepolisian, ini malah diacuhkan. Fatal aturan itu tidak ditempatkan di tempat yang tepat,” bebernya.
Rahmat juga meminta siapapun aparat yang bertugas saat itu dihukum. “Sampai sekarang tidak ada statemen polisi siapa yang bertugas di Kanjuruhan akan dipidana. Beda dengan pernyataan Panglima TNI yang menyebutkan anggotanya yang terlibat akan dipidana,” bebernya.
Sementara itu Bobi Septian yang merupakan mantan pentolan suporter PSMS dan terlibat dalam panitia penyelenggara pertandingan PSMS sebagai media officer mengatakan culture sepak bola di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Maka, akan sulit jika pengamanan tak dengan aparat kepolisian.
“Saya pikir kita tidak siap dengan itu (tanpa polisi). Budaya kita beda di sini. Kita pernah pakai stewart dari OKP. Tapi yang ada apa? dilawan sama suporter,” bebernya.
Menurutnya yang terpenting saat ini setiap kepolisian menjalankan instruksi khusus untuk pengamanan stadion. Dan itu langsung dari Kapolri hingga bisa turun ke setiap polres hingga polsek.
Bobi justru menyoroti tanggung jawab PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi. Permintaan panpel mengubah jadwal jadi sore hari tak dikabulkan LIB.
“Kita pernah gitu saat jadi panpel. Ada surat itu diwajibkan jam sekian. Klub sudah terperangkap. ada aturan. Yang bertanggung jawab LIB. Ketua panpel dan security officer sudah dihukum gak boleh beraktivitas di sepak bola. LIB juga harus dicopot. Sejauh ini klub-klub gak pernah ada kejelasan soal subsidi, pemasukan hak siar berapa. Bantuannya bertahap. Beda dengan luar negeri sudah tahu income-nya berapa setiap musim,” kata Bobi.
Dia juga meminta pihak PSSI maupun klub rajin melakukan gathering dengan suporter. Hal ini untuk menyamakan persepsi dan mendengar masukan.
“PSSI melakukan gathering buat pertemuan. Pesan-pesan yang ada menyeluruh di masyarakat. Regulasi harus dijalankan,” tambahnya.
Sementara Hendra selaku Ketua Umum PSMS Fans Club mengatakan suporter sejauh ini turun ke lapangan tidak selalu untuk membuat kericuhan. Ada niat untuk sekedar menemui pemain atau motivasi.
“Saya lihat di Aremania tidak ada lempar-lemparan. Anggota saya turun menyalami atau motivasi supaya tidak bikin malu. Cerita harga diri. Beli tiket harga diri. Sebenarnya mereka turun untuk mengatakan sesuatu agar tidak terulang kekalahan dari Persebaya. Kita pun seperti itu di sini,” katanya.
Hendra menyayangkan sejauh ini tidak ada pertemuan antara suporter dan polisi jelang pertandingan. Sehingga hal-hal buruk bisa diantisipasi bersama.
“Suporter hanya technical meeting dengan manajemen jelang laga. Gak pernah bertemu intel atau polisi yang mengajak berkomunikasi seperti saat akan unjuk rasa. Supaya sama-sama menjaga komitmen. Akhirnya terjadi chaos karena miss komunikasi. Setiap organisasi mengamankan anggotanya sendiri. Baru saat momen inilah pihak Polresta Medan coba mengajak kami bertemu. Mudah-mudahan gak hanya karena kejadian ini, tapi setiap pertandingan bisa silaturahmi,” kata Hendra.
Hendra mengatakan tak sepenuhnya menyalahkan kepolisian. Namun PSSI sebagai otoritas yang paling bertanggung jawab atas sepak bola di Indonesia.
“Kita minta ketua PSSI mundur atau dimundurkan. Saya curiga tidak ada koordinasi mereka dengan polisi soal peraturan itu. Di Medan saya sempat lihat polisi ada yang bawa gas air mata saat pertandingan. Tapi karena gak ditembakkan aja. Artinya PSSI betul gak sudah menyampaikan peraturan itu?,” kata Hendra.
Sementara itu Sekretaris IWO Medan, Syaifullah selaku moderator dan wartawan yang lama berkecimpung di sepak bola berharap ada solusi yang disampaikan untuk permasalahan ini. Tak sekadar mencari kambing hitam. “Jangan sampai lagi ada satu nyawapun yang melayang lagi karena pertandingan sepak bola. Sepak bola Indonesia harus berbenah. Akan ada diskusi-diskusi lanjutan lagi untuk membahas permasalahan sepak bola Indonesia,” pungkasnya. (sdf/mk)