Pengawasan Orang Asing
Medankinian.com – PENGAWASAN orang asing jadi salah satu hal menarik dalam revisi UU Keimigrasian. Bahkan menurut salah satu anggota Badan Legislasi DPR RI merupakan hal urgent dalam pembahasan revisi UU Keimigrasian.
Tulisan “Revisi UU Keimigrasian” yang saya munculkan kemarin, banyak mendapat apresiasi. Tak hanya dari internal keimigrasian, khalayak umum, advokat, teman-teman jurnalis dan akademisi kampus turut support beri banyak pandangan. Itu saya terima via DM bahkan japri langsung via whatsapp.
Itu pentingnya dimunculkan ke ranah publik. Agar isu penting tersampaikan. Supaya conflict of interest benar terkikis.
“Kalau yang mengeluarkan izinnya itu adalah Imigrasi, maka pengawasannya harus diserahkan ke Polisi. Karena polisi punya instrumen sampai tingkat kecamatan, bahkan tingkat desa dia punya Babimkamtibnas”. Itu saya tuliskan lengkap argumentasi yang saya sebut orang ternama.
Secara sederhana logika berpikir itu benar. Secara esensi tidak demikian.
Telaah saya begini. Saya paparkan singkat. Tentang instrumen hingga kecamatan. UU 6/2011 Tentang Keimigrasian bahkan sudah mengatur hal itu. Lihat Pasal 4 ayat (1) UU 6/2011. Kantor imigrasi dapat dibentuk di Kabupaten, kota, atau kecamatan.
Upaya Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim tepat, membentuk kantor-kantor imigrasi baru di daerah. Pembentukan kantor imigrasi hingga kecamatan, pemerintah daerah punya peran penting.
Tentang pengawasan orang asing. Mei kemarin, Operasi Jagratara berhasil menjaring 914 orang asing bermasalah di wilayah hukum Indonesia.
Imigrasi telah menjalankan dengan baik amanat Permenkumham Nomor 50 Tahun 2016. Imigrasi telah membentuk Tim Pora hingga tingkat kecamatan.
Tim Pora itu juga berisi APH (Aparat Penegak Hukum) lain termasuk Kepolisian dan Babinkamtibmas.
Meminjam analogi cerdas Dirjen Imigrasi. “Ketika seseorang mengalami kecelakaan di jalan karena mengemudi. Dia memiliki SIM, ketika tabrakan yang disalahkan bukan yang menerbitkan SIM”.
SIM itu izin mengemudi yang dikeluarkan oleh Kepolisian diawasi oleh Kepolisian. Ini menjawab bahwa terkait pengawasan dilimpahkan ke instansi lain itu bukan solusi.
Telaah singkat yang disampaikan telah menjawab. Namun demikian, Imigrasi juga perlu tingkatkan optimalisasi pengawasan orang asing.
Instrumen dan SDM intelijen dan pengawasan keimigrasian telah ada di pusat dan di daerah. Butuh metode yang tepat agar lebih maksimal. Saya tawarkan metode Observation Participatory.
Dalam etnografi, observation participatory ini khas Ilmu Antropologi. Dalam ilmu hukum, observation participatory dibahas apik dalam karya editor Norman K. Dengan dan Yvonna S. Lincoln yang berjudul The Sage Handbook of Qualitative Research. Nanti kita akan bahas tentang observation participatory. (*)
*Penulis adalah doktor ilmu hukum dengan latar belakang Sarjana Ilmu Hukum dan Sarjana Ilmu Antropologi. Saat ini bertugas di Direktorat Jenderal Imigrasi.