Berawal dari Sanggar Kreativitas, Rumah Ceria Medan Berdayakan Anak Disabilitas di Medan

Medankinian.com, Medan– Yayasan Rumah Ceria Medan (YRCM) hadir sebagai wadah bagi anak-anak disabilitas di kota Medan, dengan bentuk sekolah inklusif. Didirikan oleh Yuli Yanika yang akrab dipanggil Uye, ia juga ditemani oleh Risa, sebagai wakil pendiri (co-founder) dan sekretaris YRCM. Risa memiliki latar belakang sebagai alumni mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) Angkatan 2011.

Ketertarikan Uye dengan dunia disabilitas, semula berasal dari pengalamannya masa kecilnya hingga dewasa yang dekat dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Kedekatan tersebut, akhirnya menumbuhkan empati dan dorongan kuat dalam dirinya untuk menciptakan ruang belajar yang ramah bagi semua anak.

Perjalanan Uye dalam kegiatan disabilitas dimulai pada tahun 2013, ketika ia bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah alam. Dari sanalah ia menyadari adanya jarak komunikasi yang cukup lebar antara anak-anak disabilitas dengan anak-anak non-disabilitas. Ia juga melihat keadaan anak-anak disabilitas yang seringkali kesulitan mengekspresikan diri dan diterima dalam interaksi sosial.

Empati yang tumbuh dalam dirinya membuat Uye merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang lebih besar.

Berangkat dari keprihatinan itulah, akhirnya Uye membangun sebuah sanggar kreativitas sebagai wadah bagi anak-anak disabilitas untuk menyalurkan bakat dan ekspresi mereka.

Bersama teman-temannya yang tergabung dalam komunitas peduli difabel, ia membuka beragam kelas melalui sanggar kreativitas, mulai dari kelas tari, fotografi, hingga kegiatan pembelajaran yang dirancang untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak-anak.

Kegiatan sanggar kreativitas tersebut rutin diadakan setiap minggu dan menjadi tempat yang hangat bagi banyak anak disabilitas di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.

Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Pada tahun 2018, Uye menghadapi sebuah pengalaman yang meninggalkan kesan mendalam. Ia harus menangani kasus seorang anak disabilitas intelektual yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan.

Peristiwa tersebut mengguncang hatinya, sekaligus meneguhkan tekadnya untuk tidak berhenti di sanggar semata. Ia berkeinginan menciptakan tempat yang lebih aman dan komprehensif bagi anak-anak disabilitas. Bukan hanya menjadi tempat untuk belajar, tetapi juga sebagai tempat pendampingan dan perlindungan. Hal tersebut yang menjadi latar belakang berdirinya YRCM pada tahun 2019.

“Cita-cita saya dari dulu sebenarnya sederhana, saya ingin Rumah Ceria Medan menjadi sekolah alam tempat anak-anak bisa belajar dengan bebas, dekat dengan lingkungan, dan tumbuh tanpa batas. Oleh karena itu, saya percaya pendidikan itu bukan soal gedung megah, tetapi tentang bagaimana kita membangun ruang yang ramah untuk semua anak, termasuk teman-teman disabilitas,” ungkapnya.

YRCM tumbuh sebagai sekolah inklusif yang membuka ruang belajar bagi anak-anak disabilitas dan non-disabilitas. Sekolah ini tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pendidikan karakter, empati, dan kemandirian. Uye percaya pendidikan sejati adalah ketika setiap anak tidak memandang kondisi fisiknya, sehingga dapat belajar dengan rasa aman dan diterima apa adanya.

Selain menjadi sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus, Yayasan Rumah Ceria Medan juga aktif menjalankan berbagai program pemberdayaan. Beberapa di antaranya adalah program pendidikan berbasis inklusi, pendampingan disabilitas di masyarakat, program tuli mengaji, serta program kemah inklusif yang mengajak anak-anak belajar hidup mandiri di alam terbuka.

Tidak berhenti di situ saja, YRCM juga menghadirkan program edukasi seksual bagi disabilitas melalui program yang bernama “Tumbuh Tanpa Rasa Takut”. Sampai akhirnya, YRCM memperkenalkan program Artificial Intelligence (AI) untuk remaja disabilitas, sebagai sebuah langkah visioner yang membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk mengikuti perkembangan zaman.

Dalam menjalankan setiap programnya, YRCM tidak berjalan sendiri. Yayasan ini bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Pengadilan Tinggi Medan, sehingga anak-anak disabilitas dan keluarga mereka bisa memperoleh akses hukum dan perlindungan secara resmi. Dukungan tersebut menjadi bagian penting dari upaya YRCM dalam membangun ekosistem inklusi yang berkelanjutan.

Pada saat ini, YRCM telah memiliki tujuh orang pengajar serta seorang psikolog yang aktif memberikan pendampingan kepada siswa. Hal yang paling unik dan membedakan sekolah ini dengan sekolah disabilitas lain adalah kebijakan penggunaan bahasa isyarat sebagai bahasa utama.

Di dalam kelas, semua anak baik disabilitas maupun non-disabilitas diwajibkan berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Setiap guru di YRCM juga dibekali kemampuan menggunakan bahasa isyarat untuk mendukung kebijakan yayasan kepada anak muridnya. Tujuannya sederhana, tetapi bermakna untuk menciptakan kesetaraan dalam komunikasi. Bagi YRCM, bahasa menjadi jembatan yang mempersatukan, bukan tembok yang memisahkan.

Kini, di usianya yang masih muda, YRCM telah menjadi simbol harapan dan inklusivitas di tengah masyarakat Kota Medan. Di balik setiap senyum anak disabilitas yang belajar di sana, tersimpan keyakinan bahwa masa depan mereka tetap cerah selama ada ruang untuk diterima dan kesempatan untuk berkembang.

Sebagai penutup, Uye menyampaikan harapannya kepada masyarakat tentang anak-anak disabilitas yang membutuhkan dukungan dan kepercayaan dari orang sekitarnya.

“Saya ingin anak-anak disabilitas bisa hidup berdampingan di tengah masyarakat tanpa dibedakan. Mereka punya kemampuan untuk hidup mandiri, asal ada orang-orang yang mau mendukung dan percaya pada mereka,” tutupnya.(MK/sdf)