Medankinian.com, Medan- Undangan berbuka puasa bersama dengan wartawan (biasanya ni ya entah betul entah tidak), minim mau dihadiri orang berpangkat dan punya jabatan. Persentasenya amat kecil yang berani menghadiri undangan. Alasannya simpel.
Kuatir akan ada request yang ‘aneh-aneh’ dari wartawan. Requestnya apa, selalu berkaitan dengan fulus? Itu yang ada dibenak mereka, para pejabat dan orang berpangkat, ketika memenuhi undangan dari wartawan, saat berbuka puasa di bulan Romadon.
Apalagi momen jelang lebaran, alamat pasang ilmu ‘Naruto’ (menghilang, red). Mereka seolah menghindar dari jerat ‘operasi batok’ (para jurnalis senior faham istilah ini). Isitlah ini sempat tren di zamannya.
Ada pula yang mikirnya ekstrim. Acaranya, memang wartawan yang buat, tapi pendanaannya dibebankan kepada pejabat yang diundang. Samimawon, bisik mereka, ngedumel!
Nah, nakalnya kawan-kawan wartawan juga ada. Diacara bukber yang inisiatifnya diambil oleh wartawan juga, sempat-sempatnya kadang bertanya soal Te Ha Er. Ini membuat pihak yang diundang, merasa risih datang. Deg-degan sebelum disindir.
Walah dalah, kok mintanya sama pejabat, tokoh publik, orang berpangkat dan lain sebagainya ya. Ini dalihnya belum sahih. Kan alur Te Ha Er wartawan sudah jelas. Nuntutnya ya sama perusahaan pers dimana si wartawan bekerja. Betul apa betul?
Kalau sampai melibas sana sini (ke pejabat dan orang berpangkat serta berpengaruh), sebetulnya itu urusan lain. Tergantung kedekatan, rejeki, takdir dan keikhlasan mereka yang memberi.
Kalau kehendak khalik, si pejabat ikhlas memberi tanpa nyinyir seantero jagad duta dan dumay, syukur alhamdulillah. Nah yang gawat, nyinyir melambung kemana-mana. Malunya itu loh, disini. Eheheee..
Parahnya lagj, setelah memberi, mendongkol berlanjut nyinyir kemana-mana pula. “Ah dikasih satu orang, yang nyusul ratusan pula nanti,”seperti itu kira-kira omelan pejabat atau orang berpangkat dalam hati, lantaran ditambahi beban urusan Te Ha Er untuk wartawan.
Fenomena lain adalah, berebut meski sudah diberi. Ada kok yang seperti ini. Wartawan seolah disetir untuk saling sikut, ketika ada yang berkenan berbagi Te Ha Er. Sedikit kadang nilainya, tapi memantik yang lain merasa tersisihkan. Walhasil, profesi mulia wartawan jadi bahan olok-olokan.
Itu sepenggal dinamika. Tak cuma wartawan, diprofesi-profesi lain pun, itu lazim terjadi. Apalagi di masa sulit era pandemi dan lebaran diambang pintu. Sejutaan orang muncul, praktis memutus urat malu agar kecipratan Te Ha Er.
*
Maaf kalau malah ngalur ngidul kemana-mana. Nyerempet soal wartawan ngarep Te Ha Er lagi. Padahal, dijudul tulisan, topiknya soal Kasat Narkoba dan undangan bukber wartawan. Sebelum dan sesudahnya, mohon dimaafkan.
Penekanannya sebetulnya soal ‘beraninya’ Kasat Reserse Narkoba Polrestabes Medan, Kompol Oloan Sinaga, memenuhi undangan Ketua Pewarta Polrestabes, Chairum Lubis SH di Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo Jalan Gajah Mada, Sabtu (1/05/2021).
Mantan Korspripim Kapolda Irjen Martuani Sormin Siregar itu, datang sendirian. Muncul, injury time adzan Maghrib. Begitu sampai, menyalami dan menegur satu persatu para jurnalis yang hadir.
Ke meja yang jauh pun (maklum karena tamu restoran bejubel, meja makan diatur berjarak-jarak), Oloan rela mendekati. Seolah tak menganggap beban, undangan bukber dari wartawan.
Tak seperti ulasan di atas. Kesan risih, sirna. Kuatir disentil soal Te Ha Er jelang lebaran, pupus. Paling kalaupun ada, dijawabnya sambil senyum. Tapi sepertinya tak ada pula yang nanya soal itu.
Dia datang dan pulang dengan senyum. Makan bersama-sama dan ngobrol apa adanya. Dibawa enak saja, itu yang terlihat kala itu. Usai makan pun, dia ngelongos pergi. Tak merasa terbebani lantaran telah diundang oleh wartawan.
Dan sepertinya, baru ini pejabat setingkat Kepala Satker se Polrestabes Medan, merespon undangan bukber wartawan. Beberapa satker lain, mungkin karena kesibukannya, belum mau hadir ketika diundang.
Itu artinya, tak meluluk pejabat, orang berpangkat dan berpengaruh, gerah diundang bukber oleh wartawan. Masih ada kok yang menghargai profesi penyampai kabar, meski tanpa embel-embel mengoyak sakunya.
(mk/wik)