Medankinian.com, Medan- Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Prof.Dr.Tan Kamello, S.H.,M.S menegaskan hukum positif di Indonesia tidak mengenal selfplagiarism atau autoplagiarism.
Pernyataan ini diungkapkan Tan Kamello menyikapi kasus kontroversial Rektor USU Terpilih Muryanto Amin yang dituduh melakukan selfplagiarism.
“Jika dibaca Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2010, tidak satu kata pun dijumpai istilah selfplagiarism atau autoplagiarism.,” ujar Kamello kepada wartawan, Selasa (19/1).
Menurut pakar hukum di Sumatera Utara ini, istilah tersebut hanya dikemukakan oleh para penulis asing dan tidak pernah dimasukkan dalam rumusan pasal.
“Kalau seorang plagiator diduga dan mau dijatuhi hukuman berdasarkan hukum positif, maka perbuatan yang dilakukan plagiator harus memenuhi unsur-unsur yuridis dalam pasal tersebut.,” bebernya.
Oleh karenanya, kata Tan Kamello yang juga merupakan anggota Dewan Guru Besar (DGB) USU ini, Tim Penelusuran yang dibentuk Rektor USU untuk menangani perkara dugaan plagiat Muryanto Amin tidak dapat membuktikan perbuatan plagiat yang dilakukan oleh Rektor Terpilih tersebut.
“Selain itu pasal yang diterapkan untuk kasus ini tidak bisa dibuktikan, melainkan hanya melakukan dugaan saja. Ketua Tim juga sudah membuat kesimpulan yang berulang-ulang tentang adanya dugaan perbuatan plagiat dengan tidak memahami secara benar arti plagiat yang dimaksudkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2010. Dalam peraturan tersebut secara jelas dan eksplisit yaitu mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain. Jadi bukan karya ilmiah sendiri,” beber Tan Kamello.
Sebagai salah seorang anggota Dewan Guru Besar USU, Tan Kamello mengaku sudah membaca dan menyimak hasil penelusuran dugaan plagiat pada kasus Muryanto.
Penemuan tim penelusuran itu akan menimbulkan masalah hukum baru. Sebab berdasarkan cacatannya, bahwa Tim Penelusuran menggunakan frase dugaan adanya plagiarisme dengan kategori self-plagiarism atau autoplagiarism dengan menggunakan aplikasi Turnitin dan Checker X.
“Pertanyaannya , siapakah yang mengesahkan alat uji aplikasi tersebut. Apakah pihak Senat, Rektor, Dewan Guru Besar, Wali Amanat, sehingga menjadi validable dan reliable.” Urainya.
Sebab lanjutnya, berdasakan alat uji aplikasi tersebut, Tim Penelusuran berpendapat diduga telah terjadi perbuatan plagiat yang melanggar etika keilmuan dan integritas moral.
“Di sini Tim Penelusuran tidak dapat membedakan ruang norma hukum dan ruang norma etika dan moral. Norma hukum yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2010 saja tidak dilanggar, mengapa dapat dikatakan melanggar etika keilmuan dan integritas moral,” terangnya.
Oleh sebab itu, untuk menentukan indikator yuridis dalam memutuskan seseorang plagiat atau tidak maka alat ukurnya harus terlebih dahulu disahkan dalam forum kelembagaan yang sah.
“Apakah aplikasi Turnitin dan Checker X sudah diputuskan sebagai norma hukum pada peraturan internal USU sebagai alat uji yang sah. Menurut sepengetahuan saya belum ada, sehingga sangatlah tidak patut (onbehoorlijkheid) untuk diterima pandangan Tim Penelusuran tersebut,” ungkap Kamello.
Terakhir, Tan Kamello menegaskan Dewan Guru Besar bekerja dalam kerangka pikir sistem etik bukan terjebak dalam kerangka pikir hukum. Kerangka berpikir hukum maka acuannya adalah norma hukum dan asas hukum. Kerangka pikir etik lebih tinggi posisi kedudukannya dari hukum .
“Kalau Tim Penelusuran menduga adanya selfplagiarism dari Dr.Muryanto Amin, maka dugaan hukum itu sudah salah, sehingga tidak tepat untuk mengatakan telah terjadi pelanggar etika keilmuan.” pungkasnya.
(MK/sdf)